Abdus Salam adalah seorang muslim pertama
yang meraih Hadiah Nobel dalam bidang sains. Dia adalah fisikawan muslim
yang paling menonjol abad 20. Dia termasuk orang pertama yang mengubah
pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar
yang berperan di alam ini. Yaitu, gaya listrik, gaya magnet, gaya
gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan
dalam inti, serta gaya lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap
lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad, kelima gaya itu
dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang
berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh
trio Abdus Salam-Sheldon Lee Glashow-Steven Weinberg dalam teori “Unifying the Forces“.
Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom
diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya
kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel
Fisika 1979. Eksistensi tiga partikel itu telah dibuktikan secara
eksperimen tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin Carlo Rubia direktur
CERN (Conseil Européene pour la Recherche Nucléaire) di
Jenewa, Swiss. Ternyata, rintisan Salam itu kemudian mengilhami para
fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir
seperti Grand Theory (GT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory of Everything-nya
Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah, para fisikawan dan kosmolog
dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta
dalam satu teori tunggal yang utuh.
Dalam usia sangat muda (22 tahun), Salam meraih doktor fisika teori dengan predikat summa cumlaude
di University of Cambridge, sekaligus meraih Profesor Fisika di
Universitas Punjab, Lahore. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan
meraih nilai rata-rata 10 di St.John’s College, Cambridge. Karena
kecerdasannya yang luar biasa, Salam pernah dipanggil pulang oleh
Pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963, dia menjadi
penasihat Presiden Pakistan Ayub Khan khusus untuk menangani
pengembangan iptek di negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di
pemerintah ketika Zulfiqar Ali Bhutto naik menjadi PM Pakistan. Sebagian
besar usianya dihabiskan sebagai guru besar fisika di Imperial College
of Science and Technology, London, dari 1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi
peneliti senior di International Centre for Theoretical Physics
(ICTP) di Trieste, Italia, sekaligus menjadi direkturnya selama 30
tahun. Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Pakistan itu mendapat tak
kurang dari 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas
Edinburgh (1971), Universitas Trieste (1979), Universitas Islamabad
(1979), dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania,
Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga
menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
35 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Lahir 29 Januari 1926 di Jhang, Lahore,
Pakistan, Abdus Salam tergolong duta Islam yang baik. Sebagai contoh,
dalam pidato penganugerahan Nobel Fisika di Karolinska Institute,
Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmalah. Di situ ia
mengaku bahwa riset itu didasari oleh keyakinan terhadap kalimah tauhid.
“Saya berharap Unifying the Forces dapat memberi landasan ilmiah
terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250
makalah ilmiah fisika partikel itu. Dalam makalah Faith and Science,
Salam menegaskan bahwa pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidak
bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. “Masalah
itu setidak-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam.”
Konsep kosmologi modern yang sedang
dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya,
kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang
diisyaratkan Alquran.” Saya muslim karena saya percaya dengan pesan
spiritual Alquran. Alquran banyak membantu saya dalam memahami Hukum
Alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran
sebagai tanda bagi seluruh manusia,” kata Abdus Salam dalam satu siding
UNESCO di Paris, 1984. Dengan makalah The Holy Quran and Science,
saat itu ia banyak mengutip ayat. Antara lain Alquran 88:17 dan Alquran
3:189-190 yang antara lain mengisahkan soal penciptaan langit, bumi dan
seisinya. Menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan AS
dan Rusia, ternyata tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah
negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite
Sains PBB dan 35 organisasi profesi ilmiah.
Maka, tak aneh, bila mantan Vice Presiden
dari International Union of Pure and Applied Physics (IUPAP) (1972-1978)
itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan
perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburgh Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburgh Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of Peoples Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize
dari Spanyol (1990). Begitulah ketokohan Abdus Salam memang pantas
diakui. Dan, Dr. Robert Walgate, wartawan senior dari Majalah New Scientist,
pernah mengatakan, “Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang
dalam mengemban misinya sebagai duta dari tiga dunia: Islam, fisika
teori dan kerja sama internasional. Dunia merugi karena Abdus Salam
hanya dapat hidup sekali.”
Oleh : Hamim Tohari, Yogyakarta